Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dan rambutku sebahu
dengan tinggi 165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah setahun lebih.
Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Sekilas wajahku mirip
dengan Putri Indonesia 2002 Melani Putria. Bedanya aku telah menikah dan
aku lebih tua darinya 2 tahun. Aku bekerja pada sebuah Bank pemerintah
yang cukup terkenal.
Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi
swasta di kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa usaha
perbengkelan.
Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih 3 tahun.Perjuangan
kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Di
antaranya adalah ketidaksetujuan dari pihak orang tua kami. Sebelumnya
aku telah dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang pengusaha.
Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang
kuat hingga kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi
kami sepakat untuk menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup
sibuk sehingga takut nantinya tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki
sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga
memiliki 2 unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua.
Begitu juga dalam kehidupan seks tiada masalah di antara kami. Ranjang
kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri.
Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat
kuatur.
Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan seks kami lancar.
Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus,
maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten
baru yang merupakan sebuah kepulauan. Aku merasa bingung untuk
menerimanya dan tidak berani memutuskannya sendiri. Aku harus
merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik atau tidaknya statusku
sama saja, yang penting bagiku adalah keluarga dan perkawinanku.
Tanpa aku duga, Suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak
melepaskan kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan
kinerjaku yang biasa-biasa saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali.
Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Sayang orang
tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga mertuaku.
Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku
dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar.
Suamiku hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami
dapat berkumpul. Aku pun setuju dan berterima kasih padanya.
Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor dari
Padang akan memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus. Suamiku
turut serta mengantarku. Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di pulau
selama seminggu.
Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan
prasarananya kecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya
dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana.
Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput.
Suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di
pulau ini. Memang prasarananya belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang
lainnya pun masih banyak yang kosong.
Selama di pulau itu pun suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena
nantinya kami akan bertemu seminggu sekali. Aku pun menyadarinya dan
kami pun mereguk kenikmatan badaniah sepuas-puasnya selama suamiku di
pulau ini.
Suamiku dalam tempo yang singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa
tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang
ojek hingga tanpa kusadari suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor.
Rupanya ia meminjamnya dari tukang ojek itu.
Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak
Sitorus ini adalah laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian
dipulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari
kerja ke Jakarta.
Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri hidupnya di pulau
itu dengan kerja sebagai tukang ojek. Pak Sitorus, yang biasa dipanggil
Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan keras namun jika telah
kenal ia cukup baik. Menurut suamiku, yang sempat bicara panjang lebar
dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu di Muara
Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu saat ia ingin mengubah nasibnya
dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor
hingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan
suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan
saat kebersamaan di ranjang. Saat aku pulang, aku menitipkan rumah
dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat dipercaya. Akupun
mengikuti kata-kata suamiku.
Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang
karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke pulau
hanya karena kangen padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda motor Pak
Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali
saat ia ke pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak
Sitor pun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah
itu.
Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku dan
rumahku jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin di antar
jemput Pak Sitor jika ke kantor. Tidak jarang ia membawakanku penganan
asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan berterima
kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku baru pulang dari
Padang.
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas
seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan
disekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan beasiswa untuk
menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan obsesinya
sejak lama. Aku menerimanya. Aku pikir demi masa depan dan kebahagiaan
kami juga nantinya sehingga tidak masalah bagiku.
Suamiku sebelum berangkat sempat berpesan agar aku jangan segan minta
tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak
Sitor untuk menjagaku. Suamiku pun menitipkan uang yang harus aku
serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan dan kadang
aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan
untuk memenuhi libido kami berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun
meningkat. Bagaimanapun, aku tidak memperdulikannya. Selagi melakukannya
dengan suamiku, aku mengkhayalkan suamiku ada dekatku. Tidak masalah
jarak kami berjauhan.
Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling aku
pulang sebulan sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku. Rumahku di
Padang aku titipkan pada saudaraku.
Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya.
Begitu juga Pak Sitor rutin mengantar jemputku. Suatu saat ketika aku
pulang, Pak Sitor mengajakku untuk jalan-jalan keliling pantai namun aku
menolaknya dengan halus. Aku merasa tidak enak. Apa nanti kata teman
kantorku jika melihatnya. Kebetulan saat itu pun aku sedang tidak mood
sehingga aku merasa lebih tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres
dan berbenah pekerjaan kantor.
Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku.
Tidak jarang ia sore datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa sebab
di pulau itu ia amat disegani dan berpengaruh.
Aku sadari kadang dalam berboncengan tanpa sengaja dadaku terdorong ke
punggung Pak Sitor saat ia menghindari lubang dan saat ia mengerem. Aku
maklum, itulah resikonya jika aku berboncengan sepeda motor. Semakin
lama, hal seperti itu semakin sering terjadi sehingga akhirnya aku jadi
terbiasa. Sesekali aku juga merangkul pinggangnya jika aku duduknya
belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitor pun sempat merasakan
kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Aku menerima saja kondisi
ini sebab di pulau ini mana ada angkutan. Jadi aku harus bisa
membiasakan diri dan menjalaninya. Tak bisa membandingkannya dengan di
Padang di mana aku terbiasa menyetir sendiri kalau pergi ke kantor.
Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku.
Seperti biasanya, ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia
pun aku persilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Kembali
Pak Sitor mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku masih agak
capai. Lagipula aku agak kesal dengan kesibukan suamiku saat kutelepon
tadi. Ia tidak bisa terlalu lama di telpon.
"Kalau gitu, kita main catur saja, Bu... Gimana?" Pak Sitor mencoba
mencari alternatif. Kebetulan selama ini ia sering main catur dengan
suamiku. Akupun setuju karena aku lagi suntuk. Lumayanlah, untuk
menghilangkan kekecewaanku saat ini. Aku pun lalu main catur dengan
laki-laki itu. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya adalah
sebuah botol yang diikat tali lalu dikalungkan ke leher.
Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dengan laki-laki
selain suamiku dan atasanku. Tidak semua orang dapat bebas berbicara
denganku. Aku termasuk tipe orang yang memilih dalam mencari lawan
bicara sehingga tidak heran jika aku dicap sombong oleh sebagian orang
yang kurang aku kenal. Bagaimanapun, dengan Pak Sitor aku bicara apa
adanya, ceplas ceplos. Mungkin karena kami telah saling mengenal dan
juga aku merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur hingga jam menunjukan pukul
10 malam. Di luar rupanya telah turun hujan deras diiringi petir yang
bersahut-sahutan. Kami pun mengakhiri permainan catur kami. Aku lalu
membersihkan mukaku ke belakang.
"Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak bosan dan ngantuk," kataku menawarinya.
Di pulau saat itu penduduknya telah pada tidur dan yang terdengar hanya
suara hujan dan petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta
izin pulang karena hari telah larut. Aku tidak sampai hati sebab cuaca
tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup jauh. Lagi pula aku
kuatir jika nanti ia tersambar petir .
Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia
menerima tawaranku. Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena
cuaca sangat dingin saat itu.
Tiba-tiba, lampu mati. Aku sempat kaget, untunglah Pak Sitor punya korek
api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami
hidupkan. Satu untuk kamarku dan yang satu lagi untuk ruang tamu tempat
Pak Sitor tidur.
Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku
lalu tidur di kamar sementara di luar hujan turun dengan derasnya seolah
pulau ini akan tenggelam.
Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa khawatir
yang tidak aku ketahui sebab petir berbunyi begitu kerasnya hingga
akhirnya aku putuskan ke ruang tamu saja. Hitung-hitung memancing kantuk
dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa khawatirku jadi berkurang sebab
aku merasa ada yang melindungi.
Sesampainya di ruang tamu, aku lihat Pak Sitor masih berbaring namun
matanya belum tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu
duduk di depannya dan bilang nggak bisa tidur. Ia cuma tersenyum dan
bilang mungkin aku ingat suamiku. Padahal saat itu aku masih sebal
dengan kelakuan suamiku. Tanpa sengaja kucurahkan kekesalanku. Aku tahu,
mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku saat itu pada Pak Sitor
namun entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja.
Dengan cara bijaksana dan kebapakan ia nasehati aku yang belum merasakan
asam garam perkawinan. Dalam suasana temaram cahaya lampu saat itu aku
tidak menyadari kapan Pak Sitor pindah duduk kesampingku. Aku kurang
tahu kenapa aku membiarkannya meraih jemariku yang masih melingkar
cincin berlian perkawinanku dan merebahkan kepalaku didadanya. Aku
merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama
ini.
Pak Sitor pun membelai rambutku seolah aku adalah istrinya. Bibirnya
terus bergerak ke balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang
hangat. Aku terlena dan membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia
mulai menciumi telingaku. Aku mulai terangsang ketika ia terus
melakukannya dengan lembut. Bibirnya pun terus bergeser sedikit demi
sedikit ke bibirku. Saat kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran
listrik yang mengaliri sekujur tubuhku.
Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa yang mencumbuku
saat itu adalah orang lain. Mungkin aku telah salah langkah dan salah
menilai orang. Jelas bahwa Pak Sitor sama sekali tak merasa sungkan
memperlakukanku seperti itu. Seolah-olah ia telah menyimpan hasrat yang
mendalam terhadap diriku selama ini. Malam ini adalah kesempatan yang
telah ditunggu-tunggunya... Anehnya, aku seperti tak kuasa menahan sepak
terjangnya. Padahal yang pantas berbuat itu terhadapku hanyalah suamiku
tercinta. Sepertinya telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku
yang juga menuntut pelampiasan.
Pak Sitor pun mengulum bibirku beberapa saat. Aku pun membalasnya sambil
menutup kedua mataku menikmatinya. Tangannya juga tidak mau tinggal
diam dengan terus merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan kaos tidur
itu.
Aku lalu dibimbingnya ke kamar tidur dan direbahkannya di ranjang yang
biasa aku gunakan untuk bercinta dengan suamiku, namun kini yang berada
di sini, di sampingku bukanlah suamiku melainkan seorang laki-laki
tukang ojek sepantaran ayahku yang notabene tidak pantas untukku.
Aku telah terlarut dalam gairah yang menghentak. Aku tahu akan terjadi
sesuatu yang terlarang di antara kami berdua. Itulah yang menyihirku
dan, entah bagaimana caranya, membuat aku memasrahkan diriku pada
laki-laki ini. Pak Sitor menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.
Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.
Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal selama
ini aku tidak sekali pun memberi hati jika ada laki-laki lain yang iseng
merabaku dan mencolekku. Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi
kesucian dan kehormatan sesuai dengan yang selalu diajarkan orang tua
dan agamaku.
Sekarang semua itu musnah oleh keangkuhanku sendiri. Aku terbaring tak
berdaya. Pak Sitor mulai melepaskan pakaianku satu persatu, mulai dari
kaosku lalu celana panjang dan akhirnya bra dan celana dalam kremku
terlempar ke bawah lantai.
Aku hanya memejamkan mataku. Aku pun semakin buta oleh nafsuku yang
mulai menggebu-gebu merasuki jiwa dan tubuhku. Bahkan sepertinya aku tak
sabar menanti tindakan Pak Sitor selanjutnya.
Selesai menelanjangi aku, ia pun melepaskan pakaiannya hingga lapis
terakhir. Aku berdebar-debar karena kini kami sudah sama-sama bugil.
Kuperhatikan tubuhnya yang hitam. Meskipun sudah tua namun ototnya masih
ada. Ada gambar tattoo tengkorak di lengannya. Aku rasa dia adalah
laki-laki yang keras dan jarang ada kelembutan. Itu aku ketahui saat ia
mulai merabaiku dan menelanjangiku.
Aku tersentak ketika Ia mulai memelukku dan menciumiku dari leher hingga
belahan dadaku dengan kasar. Rabaan tangannya yang kasar membuatku tak
hanya kesakitan, melainkan juga terangsang. Suamiku jika merabaiku cukup
hati-hati. Nyata perbedaannya dengan Pak Sitor yang keras wataknya.
Tampaknya ia sudah lama tidak berhubungan badan dengan wanita, maka
akulah yang menjadi sarana pelampiasan nafsunya. Aku merasa tak kuasa
apa pun atas tindakannya.
Spontan air mataku terasa menetes karena tersirat penyesalan telah
menodai perkawinanku, namun percuma saja. Sekarang semuanya sudah
terlambat. Pak Sitor semakin asyik dengan tindakannya. Tiap jengkal
tubuhku dijamahnya tanpa terlewatkan seinci pun. Kekuatan Pak Sitor
telah menguasai diriku. Aku membiarkan saja ia terus merangsangi diriku.
Tubuhku pun berkeringat tidak tahan dan geli bercampur gairah.
Lalu mulutnya turun ke selangkanganku. Ia sibakkan kedua kakiku yang
putih bersih itu. Di situ lidahnya bermain menjilati klitorisku.
Kepalaku miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang melandaku.
Peganganku hanya kain sprei yang aku tarik karena desakan itu. Kedua
kakiku pun menerjang dan menghentak tidak tahan atas gairah yang
melandaku.
Beberapa menit kemudian aku orgasme dan mulutnya menelan air orgasmeku itu. Badanku lemas tak bertenaga. Mataku pun terpejam.
Lalu aku kembali dibangkitkan oleh Pak Sitor dengan meciumi balik
telingaku hingga liang kehormatanku. Di sana jarinya ia masukkan dan
mulai mengacak-acak liang kewanitaanku lalu mempermainkan celahnya.
Aku semakin sadar jika Pak Sitor telah lama merencanakan ini. Bisa jadi
telah lama ia berobsesi untuk meniduriku karena sama sekali tak nampak
keraguan dalam seluruh tindakannya mencabuliku. Berarti ia memang telah
berencana melanggar amanat suamiku dan menguasaiku.
Akupun akhirnya orgasme untuk yang kedua kalinya oleh tangan Pak Sitor.
Badanku telah basah oleh keringat kami berdua. Aku benar-benar merasa
lemas.
Pak Sitor lalu minta izin padaku untuk memasukkan penisnya ke lubang
kehormatanku. Aku menggeleng tidak setuju sebab aku tahu konsekuensinya.
Liang kehormatanku akan tercemar oleh cairan laki-laki lain. Aku merasa
terlalu jauh berkhianat pada suamiku. Bagiku cukuplah tindakannya tadi
dan tidak usah diteruskan lagi hingga penetrasi.
Ia pun mau menerima pendapatku. Akan tetapi, aku bisa melihat ada rasa
kecewa di matanya. Aku bisa bayangkan dirinya yang telah terobsesi untuk
menyenggamaiku. Aku lihat penisnya telah siap memasuki diriku jika aku
izinkan. Panjangnya melebihi milik suamiku dan agak bengkok dengan
diameter yang melebar.
Pak Sitor minta aku untuk membantunya klimaks dengan mengulum penisnya.
Aku kembali menggeleng karena aku dan suamiku selama ini tidak pernah
melakukan oral sex baik suami kepadaku dan juga sebaliknya meskipun kami
selalu menjaga kebersihan wilayah sensitif kami. Pak Sitor terus
memohon sebab ia merasa tersiksa karena belum klimaks.
Lama-kelamaan aku merasa kasihan juga. Tidak adil rasanya bagiku yang
telah dibantunya sampai dua kali orgasme untuk membiarkannya seperti
itu.
Akhirnya aku beranikan diri mengulumnya. Dengan sedikit jijik aku buka
mulutku, namun tidak muat seluruhnya dan hanya sampai batangnya saja.
Mulutku serasa mau robek karena besarnya penis Pak Sitor. Baru beberapa
kali kulum aku serasa mual dan mau muntah oleh aroma kelamin Pak Sitor
itu. Aku maklum saja karena ia kurang bersih dan seperti kebiasaan
laki-laki Batak, penisnya tidak ia sunat hingga membuatnya agak kotor.
Mungkin juga disebabkan oleh makanan yang tidak beraturan.
Satu menit, dua menit... lima menit berlalu.... Entah berapa lama lagi
setelah itu aku mengulumi penis Pak Sitor sampai basah dan bersih oleh
air liurku... Aku lalu menyerah dan melepaskan penis Pak Sitor dari
mulutku. Aku heran Pak Sitor ini sampai sekian lama kok tidak juga
klimaks. Aku salut akan staminanya. Aku juga salut atas sikapnya yang
menghargai wanita dengan tidak memaksakan kehendak. Padahal dalam
keadaan seperti ini, aku bisa saja dipaksanya namun tidak ia lakukan.
Aku merasa bersalah pada diriku dan ingin membantunya saat itu juga. Di
dalam pikiranku berperang antara birahi dan moral. Akhirnya, kupikir
sudah terlanjur basah. Di samping itu, aku tidak ingin menambah masalah
antara aku dan Pak Sitor. Jika aku larang terus nantinya Pak Sitor bisa
saja memperkosaku. Seorang laki-laki yang telah berbirahi di ubun-ubun
sering bertindak nekad dan lagi pula aku sendirian.
Akhirnya, dengan pertimbangan demi kebaikan kami berdua, maka aku izinkan dia melakukan penetrasi ke dalam rahimku.
"Hmmm... Pak Sitor.... Begini deh... Kalau Bapak memang benar-benar mau mencampuri saya... Boleh, Pak...."
Pak Sitor pun tampaknya gembira sekali. Padahal tadi sempat kulihat wajahnya tegang sekali.
"Ibu benar-benar ikhlas...?" tanya Pak Sitor menatap dalam-dalam mataku
dengan penuh birahi. Tangannya membelai rambutku. Aku membalas
tatapannya sambil tersenyum, lalu mengangguk dengan pasti.
Pak Sitor mencium dan mengulum bibirku dalam-dalam... Seolah menyatakan
rasa terima kasihnya atas kesediaanku. Setelah dilepaskannya pagutannya
dari mulutku, kami pun berpandangan dan saling tersenyum...
Aku lalu berbaring dan membuka kedua pahaku memberinya jalan memasuki
rahimku. Tubuh kami berdua saat itu telah sama-sama berkeringat dan
rambutku telah kusut. Dari temaran lampu dinding aku lihat Pak Sitor
bersiap-siap mengarahkan penisnya. Posisinya pas diatas tubuhku.
Tubuhnya telah basah oleh keringat hingga membuat badannya hitam
berkilat. Tampaknya ia masih berusaha menahan untuk ejakulasi. Di luar
saat ini hujan pun seakan tidak mau kalah oleh gelombang nafsu kami
berdua.
Pak Sitor dengan hati-hati menempelkan kepala penisnya. Ia tahu jika
tergesa-gesa akan membuatku kesakitan sebab punyaku masih kecil dan
belum pernah melahirkan.
Aku pun berusaha memperlebar kedua pahaku supaya mudah dimasuki
kejantanan Pak Sitor sebab aku melihat kejantanannya panjang dan agak
bengkok jadi aku bersiap-siap agar aku jangan kesakitan.
"Pelan-pelan ya, Pak..." Aku sempat bilang kepadanya untuk jangan cepat-cepat.
Dengan bertahap, ia mulai memasukan penisnya. Aku memejamkan mata dan merasakan sentuhan pertemuan kemaluan kami.
Untuk melancarkan jalannya, kakiku ia angkat hingga melilit badannya,
lalu langsung penisnya masuk ke rahimku dengan lambat. Aku terkejut dan
merasakan ngilu di bibir rahimku.
"Auuch... ooh.. auuch..." Aku meracau kesakitan. Pak Sitor membungkam
mulutku dengan mulutnya. Kedua tubuh bugil kami pun sepenuhnya bertemu
dan menempel.
Tidak lama kemudian seluruh penisnya masuk ke rahimku dan ia mulai
melakukan gerak maju mundur. Aku merasakan tulangku bagai lolos, sama
seperti saat aku dan suamiku melakukan hubungan intim pertama kalinya
dan kuserahkan kegadisanku padanya di malam pengantin dulu.
Tidak lama kemudian aku merasakan kenikmatan. Mulut pak Sitor pun lepas
dari mulutku karena aku tidak kesakitan lagi. Aku tersengal-sengal
setelah selama beberapa waktu mulutku disumpalnya. Kekuatan laki-laki
ini amat membuatku salut, sampai membuat ranjangku dan badanku bergetar
semua seperti kapal yang terserang badai.
Kurang lebih 15 menit kemudian Pak Sitor gerakannya bertambah cepat dan
tubuhnya menegang hebat. Aku merasakan di dalam rahimku basah oleh
cairan hangat.
Tubuhnya lalu rebah diatas tubuhku tanpa melepaskan penisnya dari dalam
rahimku. Aku pun dari tadi telah sempat kembali orgasme. Kami pun
tertidur sementara diluar hujan masih saja turun. Butiran keringat kami
membuat basah sprei yang kusut di sana-sini.
Saat itu tidak ada lagi batas diantara kami, namun aku merasa telah
berdosa kepada suamiku. Hingga tengah malam Pak Sitor pun kembali
menggauliku sepuasnya dan akupun tidak merasa segan lagi karena kami
tidak lagi merasa asing satu sama lain. Aku pun tidak merasa jijik lagi
jika melakukan oral sex dengan Pak Sitor.
Bagi seorang wanita seperti diriku, sangat sulit rasanya untuk
melepaskan diri dari kejadian ini. Penyesalan pun tiada gunanya. Aku
yang di luarnya tampak keras, berwibawa dan kadang sombong, semuanya
menjadi tiada arti lagi saat seorang laki-laki seperti Pak Sitor telah
berhasil menggauliku. Kehormatan dan perkawinan yang aku junjung pun
luntur sudah, namun apa lagi yang bisa kuperbuat... Pak Sitor pun kini
telah merasa jadi pemenang dengan kemampuannya menaklukkanku hingga aku
tidak berdaya. Aku semakin tidak berdaya jika ia telah berada di dalam
kamarku, untuk bersebadan dengannya.
Aku merasa telah terperdaya oleh gelombang gairah yang dipancarkan oleh
Pak Sitor. Sangat aneh bagiku jika Pak Sitor yang seusia dengan ayahku
ini masih mampu mengalahkanku dan membuatku orgasme berkali-kali tidak
seperti suamiku yang hanya bisa membuatku orgasme sekali saja. Begitu
juga aku.
Kuakui aku mendapatkan pengalaman baru dan mengaburkan pendapatku selama
ini bahwa laki-laki paro baya akan hilang keperkasaannya. Selama kami
berhubungan badan aku sempat bertanya padanya bagaimana ia bisa sekuat
itu.
Pak Sitor pun bercerita bahwa ia sering mengkonsumsi makanan khas Batak
berupa sup anjing yang menurutnya dapat menjaga dan menambah vitalitas
pria.
Aku bergidik jijik dan mau muntah mendengarnya. Aku jadi ingat, pantas
saja saat bersebadan dengannya bau keringatnya lain. Juga saat aku
mengulum kemaluannya terasa panas dan amis.Rupanya selama ini Pak Sitor
sering memakan makanan yang di agamaku diharamkan.
Pernah suatu kali aku kurang enak badan padahal Pak Sitor ngotot ingin
mengajakku untuk bersetubuh. Aku pun dibelikannya makanan berupa sate.
Saat aku santap, rasanya sedikit aneh. Setelah makan beberapa tusuk, aku
merasakan tubuhku panas dan badanku seakan fit kembali. Setelah sate
itu aku habiskan, kami pun melakukan persetubuhan dengan amat panas dan
bergairah hingga aku mengalami orgasme sampai tiga kali. Tubuhku seakan
segar bugar kembali dan enak sekali.
Setelah persetubuhan, Pak Sitor bilang bahwa yang aku makan tadi adalah
sate daging anjing. Aku marah dan ingin memuntahkannya karena jijik dan
kotor. Hanya karena pandainya ia memberiku pengertian, ditambah sedikit
rayuan, aku jadi bisa menerimanya. Bagaimanapun, aku memintanya untuk
tidak mengulangi perbuatan itu lagi walaupun terus terang, aku pun mau
tak mau harus mengakui khasiatnya... Ia pun berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi tanpa seizinku.
Selama aku bertugas di pulau itu hampir satu tahun, kami telah sering
melakukan hubungan seks dengan sangat rapi. Tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya. Untungnya pula, akibat perbuatan kami ini aku tidak
sampai hamil. Aku memang disiplin ber-KB supaya Pak Sitor bebas
menumpahkan spermanya di rahimku.
Kapanpun, kami sering melakukannya. Kadang di rumahku, kadang di rumah
Pak Sitor. Kadang kalau kupikir, alangkah bodohnya aku mau saja digauli
di atas dipan kayu yang cuma beralaskan tikar usang. Bagaimamanapun,
yang penting bagiku hasrat terpenuhi dan Pak Sitor pun bisa memberinya.
Pernah suatu hari setelah kami bersebadan di rumahnya, Pak Sitor minta
kepadaku untuk mau hidup dengannya di pulau itu. Permintaan Pak Sitor
ini tentu mengejutkanku, rasanya tidak mungkin sebab aku terikat
perkawinan dengan suamiku dan aku pun tidak ingin menghancurkannya. Lagi
pula Pak Sitor seusia dengan ayahku. Apa jadinya jika ayahku tahu.
Rupanya Pak Sitor mulai mencintaiku sejak ia dengan bebas dapat
menggauliku.
Di samping itu, keyakinan kami pun berbeda karena Pak Sitor seorang
Protestan. Bagiku ini masalah baru. Memang, sejak berhubungan intim
dengannya, aku tak lagi menjalankan agamaku dengan taat. Kebiasaan Pak
Sitor menyantap daging anjing dan babi, juga menenggak tuak, sedikit
demi sedikit ikut mempengaruhiku. Kadang aku ikut pula menikmati makanan
seperti itu. Sekedar menemaninya dan sebagai wujud toleransiku padanya.
Lagipula, khasiat itu semua terhadap gairah seks kami telah terbukti...
Apapun, perbedaan agama itu tetap saja terasa menjadi ganjalan.
Pak Sitor pun pernah menanyakan padaku kenapa aku tidak hamil padahal
setiap ia menyebadaniku spermanya selalu ia tumpahkan di dalam. Aku
tidak memberitahunya jika aku ber-KB karena tidak ingin mengecewakannya.
Jelas ia sebenarnya menginginkan aku hamil agar memuluskan langkahnya
untuk memilikiku.
Aku harus menyiasatinya agar ia tidak lagi bermimpi untuk menikahiku.
Sebenarnya bagiku hubungan ini hanyalah sebagai pelarianku dari kesepian
selama jauh dari suamiku. Aku pun menjelaskannya kepada Pak Sitor
dengan lembut dan baik-baik saat kami usai berhubungan badan.
Aku pun bilang jika kelak aku pindah kerja, ia harus rela hubungan ini
putus. Selama aku dinas di pulau ini dan suamiku tidak ada, ia kuberi
kebebasan untuk memilikiku dan menggauliku. Syaratnya, asal jangan
berbuat macam-macam didepan teman-teman kantorku yang kebetulan hampir
semuanya penduduk asli pulau ini.
Akhirnya ia mau mengerti dan menerima alasanku. Ia berjanji akan menutup
rapat rahasia kami jika aku pindah. Ia pun menerima segala
persyaratanku karena rasa cintanya padaku.
Selama aku tugas di pulau ini, Pak Sitor terus memberiku kenikmatan
ragawi tanpa kenal batas antara kami. Bagiku cinta hanya untuk suamiku.
Pak Sitor adalah terminal persinggahan yang harus aku singgahi. Dalam
hatiku, aku berjanji untuk menutup rapat rahasia ini karena masih ada
penyesalan dalam diriku. Kadang aku mengganggap diriku kotor dan telah
merusak kesucian pernikahan kami. Bagaimanapun, mungkin ini memang
tahapan kehidupan yang harus aku lewati...